Responsive Ads
Home Bisnis Dunia Keuangan Teknologi

Amerika Serikat & China, 2 Negara yang Saling Membutuhkan


Beberapa waktu terakhir, dunia dikejutkan dengan kebijakan tarif baru yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump kepada 54 negara yang dianggapnya telah memberlakukan tarif yang tidak adil terhadap Amerika Serikat. Tarif yang kemudian kita kenal dengan istilah tarif resiprokal atau tarif timbal balik. Tarif yang kemudian memicu reaksi dari berbagai negara di dunia. Ada yang meresponnya dengan melakukan retaliasi atau menetapkan tarif balasan seperti apa yang dilakukan oleh China. Namun, ada pula yang lebih memilih jalur negosiasi seperti apa yang dilakukan oleh Indonesia.

Sikap China Terhadap Kebijakan Tarif Amerika Serikat




Melalui statements yang yang dibuat oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri-nya, Lin Jian. China mengirimkan pesan, bahwa negaranya sama sekali tidak tertarik untuk melakukan perang dagang dengan Amerika Serikat, namun jika terus ditekan, China mengaku tidak takut. Tentu, China ada dalam posisi yang sama kuat untuk bertarung dengan Amerika Serikat. Namun mereka sepertinya sadar bahwa tidak akan ada yang menang dalam perang dagang ini. Maka alih-alih bertempur, mereka jauh lebih terbuka untuk sebuah negosiasi "yang setara".

Bagi kalian yang nggak terlalu ngikutin berita ini, atau ngikutin banget sebetulnya tapi tetap nggak paham sama arah dan tujuannya. Izinkan saya menjelaskan secara ringkas dan sederhana. Jadi, ada 3 jenis tarif yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, yakni: tarif dasar, tarif sektoral dan tarif resiprokal. Kenaikan tarif dasar sendiri hanya berlaku untuk Mexico dan Kanada. Dua negara yang sebetulnya memiliki history dagang yang cukup baik dengan Amerika Serikat terutama sejak munculnya kesepakatan NAFTA diantara ketiganya atau yang saat ini dikenal dengan istilah United States–Mexico–Canada Agreement (USMCA). Sementara kenaikan tarif sektoral dan resiprokal dikenakan Amerika Serikat untuk seluruh mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Dengan catatan, jika sebuah negara sudah dikenakan tarif sektoral, maka secara otomatis tarif dasar dan resiprokal tidak lagi berlaku.

Amerika yang Mulai Melunak

Menariknya, pasca turunnya kebijakan ini ~ Trump kini justru memutuskan untuk menunda pemberlakuan tarif ini hingga 90 hari kedepan (terhitung sejak tanggal 10 April lalu). Dimana sinyal ini turut memperkuat dugaan bahwa tujuan utama Trump memberlakukan tarif baru ini sebetulnya bukan untuk "memicu perang dagang" melainkan untuk "memperkuat posisi Amerika Serikat" khususnya dalam negosiasi ulang dengan negara-negara yang dimaksud. 

Dengan Indonesia misalnya, selama ini negara kita memberlakukan pajak impor sebesar 30% terhadap produk etanol dari Amerika Serikat. Padahal, Amerika Serikat sendiri hanya mengenakan pajak impor sebesar 2,5% untuk produk etanol dari Indonesia. Belum lagi berbagai regulasi dan kebijakan kita yang dianggap Trump sebagai hambatan non-tarif. QRIS dan GPN misalnya, yang dianggap menghambat perdagangan bebas antara Amerika Serikat & Indonesia. Tentu, dari sudut pandang ini kita dapat memaklumi mengapa Amerika Serikat kemudian memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32% untuk Indonesia. Dan mengapa Indonesia kemudian meresponnya dengan negosiasi dan bukan retaliasi. Dimana dari hasil negosiasi yang terjadi, Indonesia akhirnya mengusulkan peningkatan produk import dari Amerika Serikat, seperti gandum, kedelai, hingga elpiji. Serta menyatakan akan mempermudah perizinan perusahaan Amerika Serikat yang hendak beroperasi di Indonesia. Dan usul ini sepertinya diterima baik oleh Amerika Serikat.

Bahkan dengan China yang sebelumnya sempat memanas, Amerika agaknya mulai mengendurkan urat sarafnya. Trump sendiri mengaku bahwa tarif 145% agaknya terlalu tinggi. Dan akan mulai menurunkan tarif itu secara substansial hingga terjadi perundingan langsung antara dirinya dan Xi Jinping. Namun selama jangka waktu tersebut, Amerika Serikat akan tetap menutup semua jalur diplomatik mereka dengan China. China bahkan jadi satu-satunya negara yang tidak mendapatkan penundaan tarif 90 hari seperti negara lain. Namun seakan tetap teguh pada pendiriannya, China justru mulai mengalihkan import minyak mentahnya ke Kanada.

Meski begitu, kedua negara ini sebetulnya saling membutuhkan. Khususnya dalam hal Teknologi.

Amerika Serikat & China, 2 Negara yang Saling Membutuhkan




Tahukah kamu, bahwa Amerika cukup banyak mengekspor bahan mentah untuk dirakit di China. Karena biaya produksi yang lebih rendah. Bayangkan, jika semua produksi ini terpaksa berhenti karena adanya perang tarif. Tentu, akan ada banyak barang yang mengalami kenaikan harga.

Sementara disisi lain, China masih membutuhkan Teknologi yang dibawa oleh Amerika Serikat. Sebab selama ini, China hanya mau berbisnis dengan negara yang bersedia mentransfer informasi dan teknologi mereka. Itu mengapa, kita banyak menjumpai barang replika yang berasal dari China. Mulai dari barang fashion hingga gadget. Karena sejatinya, merekalah produsen yang sesungguhnya dari barang-barang tersebut. Mereka bahkan mampu membuat barang tiruan dengan kualitas yang sama persis namun dengan harga yang lebih murah. Karena yang membedakan sebetulnya hanya pada merk dagangnya saja.

Maka kemungkinan besar, dalam waktu dekat kedua negara ini akan kembali berdamai.

Terlebih setelah adanya rencana Arab Saudi dan Uni Emirat Arab untuk berinvestasi di Amerika Serikat agar dapat memperoleh akses ke semikonduktor terbaru, untuk membangun infrastruktur kecerdasan buatan (AI) dinegara mereka. Dimana untuk urusan semikonduktor, Amerika masih amat bergantung pada Asia. Taiwan melalui TSMC-nya masih merajai pasokan semikonduktor dunia, Sebut saja Apple, AMD hingga MediaTek yang masih menggunakan chipset dari TSMC. Dan seperti yang kita tahu, meski memiliki pemerintahannya sendiri, belum banyak negara yang mengakui kemerdekaan Taiwan, sehingga sampai hari ini mereka masih hidup dibawah bayang-bayang China yang mengklaim bahwa Taiwan masih merupakan wilayahnya. Dengan kata lain, Amerika masih sangat membutuhkan China untuk urusan semikonduktor. Setidaknya hingga mereka mampu memproduksinya sendiri atau mendapat pasokan semikonduktor dari negara lain.

Comments
Responsive Ads
Responsive Ads
Responsive Ads
Additional JS